Minggu, 18 Januari 2015

Kumbakarna Gugur

Sosok Raksasa Pembela Kebenaran

Setelah Sarpakenaka tewas, menyusul  anak-anak Prabu Dasamuka, dan Patih Prahasta gugur di medan laga. Membuat dendam Prabu Dasamuka semakin menjadi jadi.  Prabu Dasamuka memerintahkan berapa pasukan untuk pergi ke Gunung Gohkarna, untuk membangunkan Kumbakarna dari tidurnya. Namun Kumbakarna dengan jalan apapun tidak bisa dibangunkan. Pasukan Prabu Dasamuka, kembali ke Alengka, melaporkan kepada Prabu Dasamuka, bahwa Kumbakarna tidak bisa dibangunkan.
Prabu Dasamuka kemudian memerintahkan kurir untuk menemui Prabu Sumali, agar anak anak Kumbakarna, Kumba-Kumba dan Aswani Kumba  maju ke medan laga. Kedua anak Kumbakarna tidak pernah berurusan dengan Alengka. Mereka tinggal di Pangleburgangsa, tinggal bersama dengan  ibunya Dewi Kiswani  dan Eyangnya Prabu Sumali. Prabu Dasamuka mengirim utusan ke Pangleburgangsa meminta kedua anak Kumbakarna berangkat ke medan laga. Usia Kumba Kumba dan Aswani Kumba masih belasan tahun, belum dewasa. Prabu Sumali melarang kedua anak Kumbakarna pergi ke medan laga. Dewi Kiswani pun  merasa berat hati untuk melepas kedua anaknya, lagi pula belum ada restu dari ayahnya, Kumbakarna. Akhirnya Prabu Sumali menolak pesan dari Prabu Dasamuka.
Prabu Dasamuka marah marah, mengetahui perintahnya ditolak oleh kakeknya. Prabu Dasamuka akhirnya memerintahkan beberapa pasukan untuk menjemput kedua anak Kumbakarna. Prabu Sumali dan Dewi Kiswani dengan berat hati melepas Kumba Kumba dan Aswani Kumba menuju medan laga.
Kedua anak Kumbakarnapun berangkat ke medan laga disertai dengan pasukan Perajurit Alengkadiraja. Bendera Alengka telah kelihatan memasuki daerah  pertahanan Swelagiri. Perajurit Pancawati telah bersiap siap untuk menerima kedatangan mereka. Dari penjaga perbatasan memberikan laporan kepada Anggada, bahwa prajurit Alengka dengan kekuatan penuh dibawah pimpinan sepasang anak kembar Kumbakarna,
Kumba Kumba dan Aswani Kumba telah memasuki perbatasan pertahanan Suwelagiri. Anggada  dan Anila telah menunggu kedatangan para Senapati Alengka. Pasukan Alengka barisan terdepan telah siap meluncurkan panah api. Sementara itu Wibisana mengarahkan anak panah hujan kelangit. Anak panah meluncur ke mega mendung, hujan pun turun dengan lebat. Panah Api perajurit Alengka bisa dilumpuhkan.
Perangpun terjadi Pasukan raksasa melawan pasukan kera yang jumlahnya puluhan ribu, ditambah dengan pasukan dari Goa Kiskenda terus merangsek mundur pasukan Alengka. Sementara itu perajurit Alengka dan Pancawati minggir. Kini Panglima perang Alengka sepasang Raksasa muda anak Kumbakarna terpaksa melawan pasukan Pancawati. Anggada dan Anila menerima tantangan raksasa muda. Anggada melawan Kumba Kumba dan Anila melawan Aswani Kumba. Setiap kali Kumba Kumba tewas, kemudian Aswani Kumba melompatinya, Maka Kumba Kumba hidup kembali, demikian pula sebaliknya. Tenaga Anggada dan Anila terkuras habis, dan jatuh tidak berdaya.
Beruntung Sugriwa dan Anoman segera menolongnya. Sugriwa teringat kepada kakaknya Resi Subali yang menceriterakan perang di Goa Kiskenda. Ketika melawan Prabu Maesasura dan Patih Lembusura yang juga memiliki kesaktian ganda bagai Kumba Kumba dan Aswani Kumba. Namun Sugriwa sudah terlalu tua untuk melawan mereka.
Anoman bersedia menjadi lawan keduanya. Perkelahian antara kedua anak Kumbakarna dan Anoman begitu seru. Kedua anak Kumbakarna merasa percaya diri dapat mengalahkan para satria Pancawati. Ketika Anoman di tengah tengah diantara  Kumba Kumba dan Aswani Kumba dalam posisi berhadap hadapan, Tiba tiba Kumba Kumba dan Aswani Kumba bersemangat dengan kekuatan penuh menyerang bersama, Anoman menghindar dengan meloncat keatas, sehingga kepala mereka berbenturan dengan kerasnya, sehingga kepala mereka pecah, dan tewaslah anak anak Kumbakarna. Wibisana didalam hati menangisi kedua kemenakanya, yang tewas mengenaskan.
Mengapa anak yang baru belasan tahun usianya, maju ke medan perang. Keduanya menjadi pahlawan Alengka yang dibanggakan.
Perabu Dasamuka semakin berduka dengan kematian Kumba Kumba dan Aswani Kumba. Kini saatnya tokoh Alengka yang tersimpan di Gunung Gohkarna, sudah saatnya harus dibangunkan dan berangkat ke medan perang mempertahankan Alengkadiraja, Pasukan Alengkadiraja dibawah komando langsung  Prabu Dasamuka telah berangkat menuju Gunung Gohkarna. Ikut dalam rombongan Tejamantri Togog dan Sarawita. Pasukan juga membawa makanan untuk Kumbakarna.
 
Sesampai di tempat Kumbakarna bertapa, Prabu Dasamuka memerintahkan para perajurit membangunkan Kumbakarna. Pasukan terompet, pasukan tambur dan pasukan meriam sampai dengan petasan bergantian membangunkannya. Namun Kumbakarna tidak merasa terusik sama sekali. Prabu Dasamuka menjadi kehabisan akal. Akhirnya Tejamantri Togog menghadap Prabu Dasamuka, bahwasanya ia bersedia membangunkan Kumbakarna kalau mendapat perintah dari Prabu Dasamuka. Prabu Dasamuka mengijinkan Tejamantri Togog untuk membangunknnya. Tekamantri Togog mendekati kaki Kumbakarna, dan dipeganginya jempol kaki kirinya, kemudian dicabut bulu (wulu cumbu) nya. Begitu tercabut, Kumbakarna langsung bangun, kedua tangan dan kedua kakinya menghentak keras sekali, sehingga tanah menjadi bergetar. Beberapa orang pasukan yang ada didekatnya, sempat terinjak dan terpukul oleh kedua tangan dan kedua kakinya.
Kumbakarna merasa senang Prabu Dasamuka mau mendatanginya dan Prabu Dasamuka telah memberikan maaf kepada Kumbakarna. Makanan dan minuman diberikan kepada Kumbakarna. Makanan dan minuman Kumbakarna beberapa grobag pun habis. Setelah selesai makan dan minum, Prabu Dasamuka baru menjelaskan maksud kedatangannya.
Berkatalah Rahwana:
“O, Kumbakarna, aku membutuhkan tenagamu, dengarkanlah baik-baik kataku. Negerimu hampir hancur berantakan, karena kamu hanya tidur mendengkur tidak menghiraukan. Semua Senapati dan perwira Alengka satu-persatu gugur. Kini negerimu diinjak-injak kera dan munyuk-munyuk wadya Sri Rama dari Maliawan. Sekarang mereka berkemah dan berbaris di gunung Suwelagiri. Kini, apakah baktimu kepada negara dan bangsamu.”
Tetapi Kumbakarna tak sepatah katapun menjawab. Sedang Rahwana hanya mondar-mandir seolah-oleh kehabisan kata, kemudian mengeluh sambil menghempaskan diri, duduk disinggasananya. Setelah sadar berteriaklah kembali meneruskan pidatonya:
“Oh Kumbakarna, kini seluruh harapanku tinggal kepadamu, ketahuilah bahwa kedua anakmu, Kumba Kumba dan Aswani Kumba serta paman Prahasta-pun telah gugur pula. Terjunlah ke medan laga adikku, bunuhlah Rama dan Laksmana. Tumpaslah Hanggada dan Anoman, musnahkanlah sekalian wadyamunyuk dan rewanda dari bumi Alengka. Ohhh, adikku, Kumbakarna yang kucintai, perlihatkanlah kesetiaan baktimu dan cinta kasihmu kepadaku. Aku adalah kakakmu yang tertua yang kini dalam kesedihan, aku yakin dengan kesaktianmu engkau dapat dan sanggup menumpas dalam waktu singkat seluruh wadya dan pengikut Rama.”
Kumbakarna terkejut ketika Prabu Dasamuka, memberi tahu kalau perang Alengka sudah terjadi. Saudara saudaranya. Sarpakenaka, anak anak Prabu Dasamuka serta patih Prahasta semuanya telah gugur. Juga anak anaknya sendiri, Kumba Kumba dan Aswani Kumba telah gugur pula di medan laga. Kumbakarna mendengar itu menjadi  marah luar biasa. Kumbakarna berteriak membahana, memecah kesunyian. Guntur, petir bersahut sahutan, burung burung dilangit saling bertubrukan, dan binatang binatang liar di hutan saling berlarian tidak tentu arah, binatang besar, gajah, banteng, singa dan macan, lari tunggang langgang dan jatuh terguling guling ke dalam jurang. Karena teriakan Kumbakarna menimbulkan gempa. Prabu Dasamuka pun menjadi terkejut pula. Akhirnya Kumbakarna memuntahkan makanan dan minuman  yang terlanjur masuk ke dalam  perutnya.
Setelah emosi Kumbakarna sedikit mereda, kemudian ia berkata:
“Rahwana kakakku, itulah akibat orang yang berkepala batu, yang didengar hanya kemurkaan hatinya sendiri. Kecongkakan dan kepongahanmu engkau sendirilah yang membentuknya. Setiap kali engkau sesumbar, sok kuasa, seolah-olah tidak ada manusia di dunia ini yang melebihi kesaktianmu. Sekarang apakah jadinya? Negara hampir punah dan tumpas gulung tikar Oohhh Rahwana kakakku yang kuhormati dan aku segani, mengapa dahulu engkau tak mau dengar, dikala aku dan adikmu Wibisana yang cerdik bijaksana itu menasehatimu. Bukankah ia telah dengan berani dan penuh kejujuran mempersembahkan saran sarannya, tetapi engkau buta, bahkan memarahinya, menuduhnya seolah-olah mengkhianatimu dan membantu lawan. Wibisana adalah manusia “Sarjana-sujanengbudi” yang dapat membaca akibat jauh dari hasil perbuatan baik dan buruk. Engkau tidak mendengarkan pertimbangannya, bahkan engkau mengutuk dan mengusirnya. Kini ia meninggalkanmu, meninggalkan negeri Alengka, bukan karena mengkhianati negara, tetapi ia memihak kebenaran. Itu adalah sikap “Sujana” yang tahu akan kebenaran.”
“Itulah bukti dan petunjuk bagimu, bahwa ia benar-benar berbicara dengan sepenuh jiwa dan cita-cita luhurnya, demi keselamatanmu sendiri. Kini engkau baru tahu akibat kepergiannya, seolah-olah Alengka kehilangan cahayanya. Para hulubalang bahkan engkau sendiri, berjalan menumbuk-numbuk seperti orang buta kehilangan tongkatnya ! Siapakah yang bersalah, oh kakakku, masih ada waktu. Kembalikan Sinta kepada Rama demi keselamatan negara dan bangsa Alengka. Saranku ini bukanlah karena aku takut berperang, tetapi aku tahu bahwa Ramalah yang berdiri dipihak yang benar. Kalau ini kau kerjakan, berarti engkau telah menyelamatkan negara dan bangsamu.”
Kumbakarna berpakaian putih putih dan berangkat ke medan laga membela tanah air dan membalas dendam kematian anak anaknya. Dan bukan karena membela Prabu Dasamuka yang angkara murka. Pasukan Alengka mengiringkan kepergian Kumbakarna ke medan perang. Prabu Dasamuka pulang ke Istana Alengkapura. Sedangkan Tejamantri Togog dan Sarawita pulang  ke Patogogan. Bendera hitam Alengka kelihatan berderet di perbatasan pertahanan Suwelagiri.
Wibisana melihat kedatangan kakaknya Kumbakarna sebagai Senapati dengan berpakaian seorang brahmana, putih-putih. Wibisana segera menghampiri kakaknya.
“Oh kanda Kumbakarna, kanda sekarang maju medan perang sebagai senopati Alengka dan seperti yang kanda ketahui perang ini terjadi karena ulah kanda Rahwana yang mencuri istri orang. Apakah orang seperti itu pantas untuk dibela?”
“Duh adikku Wibisana, ketahuilah kakangmu Kumbakarna ini bukan datang karena Rahwana, kakangmu ini hanya ingin mempertahankan kemerdekaan Alengkadiraja, negeriku, tanah airku. Kakangmu ini tidak menginginkan perang tetapi juga tidak menginginkan  negeri tercintaku di injak injak oleh musuh, Aku tidak ingin negeriku dijajah oleh negara lain.
Terdiam Wibisana.. Kumbakarna meneruskan biacaranya..
“Aku tidak akan membunuh siapapun. Aku kecewa sudah banyak korban dari Alengka yang tewas. Juga kedua anakku, Kumba Kumba dan Aswani Kumba telah tewas. Aku hanya menginginkan Prabu Rama dan pasukannya kembali ke Pancawati.. Wibisana adikku  menyingkirlah, biarkan kakangmu ini  menemui Prabu Rama, agar mereka segera kembali ke Pancawati.
Kumbakarna memasuki wilayah pertahanan Prabu Rama. Pasukan kera langsung menyerbu Kumbakarna. Lengannya sudah ratusan kera menungganginya, menggigitnya dan mencakarnya, tapi Kumbakarna diam saja. Lengan yang satu juga ditunggangi ratusan kera, juga kepala, juga muka, juga leher, juga punggung, juga perut, juga paha, juga kaki. Mereka menggigit, mencakar dan merobek robek kulit Kumbakarna. Dalam waktu sekejap Kumbakarna menjadi gunung kera.
Tidak ada satu bagian tubuh Kumbakarna yang terlewatkan, semua sudah penuh kera kera.  Walaupun sedemikian hati hatinya Kumbakarna, agar tidak melukai siapapun, tetapi tanpa sengaja Kumbakarna juga menginjak ratusan kera yang menghadangnya.
Kumbakarna akhirnya berhadapan dengan Rama, kemudian ia meminta kepada Prabu Rama, agar Prabu Rama kembali ke Pancawati. Prabu Rama ganti meminta agar Kumbakarna lah yang kembali ke istana Alengkadiraja.
Sementara itu para Senapati Kera, Sugriwa, Anoman, Anggada dan Anila sudah mencegah Kumbakarna jangan mendekati Prabu Rama. Mereka memegangi kedua kaki Kumbakarna agar tidak melangkah lagi, tetapi keempat satria kera itu tidak berdaya, mereka berjatuhan, dan hampir hampir saja terinjak oleh kaki Kumbakarna. Tubuh Kumbakarna memang lebih besar dari raksasa yang lain, Kumbakarna memiliki ukuran tubuh beberapa kali ukuran raksasa biasa.
Untuk membebaskan kesengsaraan Kumbakarna dari serangan para rewanda, Prabu Rama melepaskan panah Guwawijaya kepada Kumbakarna. Panah pertama memutuskan bahu sebelah kiri. Lengan tangan kiri Kumbakarna yang dikerubuti ratusan kerapun jatuh. Banyak kera  yang tewas tergencet lengan kiri Kumbakarna.
Kumbakarna masih melangkah maju, Prabu Rama mengingatkan jangan maju lagi, namun Kumbakarna tetap melangkah. Prabu Rama pun melepaskan anak panah yang kedua. Putuslah bahu kanan Kumbakarna. Lengan kanan Kumbakarna yang dikerubut ratusan kerapun jatuh. Banyak kera yang tewas tergencet lengan kanan Kumbakarna. Kumbakarna terus melangkah.
Prabu Rama melepas anak panah yang ketiga dan keempat kearah kedua kaki Kumbakarna. Kedua kaki Kumbakarna yang dikerubuti ratusan kerapunpun lepas dan jatuh menggencet pula para kera yang mengerubutnya dibawah kakinya. Tubuh Kumbakarna pun ambruk dan menjatuhi ribuan kera kera yang ada dibawahnya. Kini Kumbakarna tinggal tubuh dan kepalanya saja, yang wajahnya  sudah tidak berujud lagi. Kedua daun Telinga, hidung, mulut, kedua mata, Kumbakarna sudah tanggal semua.
Kumbakarna menahan sakit, Kumbakarna yang tinggal kepala dan tubuhnya berguling guling kesakitan, dan tanpa sengaja banyak kera yang  tewas terlindas  oleh tubuh Kumbakarna. Prabu Rama merasa ngeri dengan keadaan Kumbakarna.
Wibisana segera meminta pada Prabu Rama untuk menyempurnakan kematiannya. Prabu Rama yang kelima kalinya melepaskan anak panahnya keleher Kumbakarna. Kepala dan gembung Kumbakarna terpisah. Kumbakarna pun gugur. Kumbakarna gugur membela tanah airnya, bukan membela keangkara murkaan Prabu Dasamuka.
Kumbakarna disambut  harum bunga melati yang turun dari langit. Tubuh  Kumbakarna yang semula terpotong potong, dan tercecer dimana mana, tiba tiba menyatu menjadi Kumbakarna yang utuh kembali. Kumbakarna bangkit kembali dan hilang dari pandangan mata. Rupanya Kumbakarna, moksha. Jiwa dan raga Kumbakarna diterima oleh dewa, dan ditempatkan di Swarga Pangrantunan.

Prabu Rama dan segenap punggawa terkesima dengan peristiwa itu. Terlebih lebih Wibisana, menangisi kepegian Kakaknya yang paling dicintainya.
sumber: media seni budaya wayang Indonesia


Melestarikan Seni Budaya Wayang Indonesia
Musik Jawa Favorit

Tidak ada komentar:

Posting Komentar