Minggu, 18 Januari 2015

Kumbakarna Gugur

Sosok Raksasa Pembela Kebenaran

Setelah Sarpakenaka tewas, menyusul  anak-anak Prabu Dasamuka, dan Patih Prahasta gugur di medan laga. Membuat dendam Prabu Dasamuka semakin menjadi jadi.  Prabu Dasamuka memerintahkan berapa pasukan untuk pergi ke Gunung Gohkarna, untuk membangunkan Kumbakarna dari tidurnya. Namun Kumbakarna dengan jalan apapun tidak bisa dibangunkan. Pasukan Prabu Dasamuka, kembali ke Alengka, melaporkan kepada Prabu Dasamuka, bahwa Kumbakarna tidak bisa dibangunkan.
Prabu Dasamuka kemudian memerintahkan kurir untuk menemui Prabu Sumali, agar anak anak Kumbakarna, Kumba-Kumba dan Aswani Kumba  maju ke medan laga. Kedua anak Kumbakarna tidak pernah berurusan dengan Alengka. Mereka tinggal di Pangleburgangsa, tinggal bersama dengan  ibunya Dewi Kiswani  dan Eyangnya Prabu Sumali. Prabu Dasamuka mengirim utusan ke Pangleburgangsa meminta kedua anak Kumbakarna berangkat ke medan laga. Usia Kumba Kumba dan Aswani Kumba masih belasan tahun, belum dewasa. Prabu Sumali melarang kedua anak Kumbakarna pergi ke medan laga. Dewi Kiswani pun  merasa berat hati untuk melepas kedua anaknya, lagi pula belum ada restu dari ayahnya, Kumbakarna. Akhirnya Prabu Sumali menolak pesan dari Prabu Dasamuka.
Prabu Dasamuka marah marah, mengetahui perintahnya ditolak oleh kakeknya. Prabu Dasamuka akhirnya memerintahkan beberapa pasukan untuk menjemput kedua anak Kumbakarna. Prabu Sumali dan Dewi Kiswani dengan berat hati melepas Kumba Kumba dan Aswani Kumba menuju medan laga.
Kedua anak Kumbakarnapun berangkat ke medan laga disertai dengan pasukan Perajurit Alengkadiraja. Bendera Alengka telah kelihatan memasuki daerah  pertahanan Swelagiri. Perajurit Pancawati telah bersiap siap untuk menerima kedatangan mereka. Dari penjaga perbatasan memberikan laporan kepada Anggada, bahwa prajurit Alengka dengan kekuatan penuh dibawah pimpinan sepasang anak kembar Kumbakarna,
Kumba Kumba dan Aswani Kumba telah memasuki perbatasan pertahanan Suwelagiri. Anggada  dan Anila telah menunggu kedatangan para Senapati Alengka. Pasukan Alengka barisan terdepan telah siap meluncurkan panah api. Sementara itu Wibisana mengarahkan anak panah hujan kelangit. Anak panah meluncur ke mega mendung, hujan pun turun dengan lebat. Panah Api perajurit Alengka bisa dilumpuhkan.
Perangpun terjadi Pasukan raksasa melawan pasukan kera yang jumlahnya puluhan ribu, ditambah dengan pasukan dari Goa Kiskenda terus merangsek mundur pasukan Alengka. Sementara itu perajurit Alengka dan Pancawati minggir. Kini Panglima perang Alengka sepasang Raksasa muda anak Kumbakarna terpaksa melawan pasukan Pancawati. Anggada dan Anila menerima tantangan raksasa muda. Anggada melawan Kumba Kumba dan Anila melawan Aswani Kumba. Setiap kali Kumba Kumba tewas, kemudian Aswani Kumba melompatinya, Maka Kumba Kumba hidup kembali, demikian pula sebaliknya. Tenaga Anggada dan Anila terkuras habis, dan jatuh tidak berdaya.
Beruntung Sugriwa dan Anoman segera menolongnya. Sugriwa teringat kepada kakaknya Resi Subali yang menceriterakan perang di Goa Kiskenda. Ketika melawan Prabu Maesasura dan Patih Lembusura yang juga memiliki kesaktian ganda bagai Kumba Kumba dan Aswani Kumba. Namun Sugriwa sudah terlalu tua untuk melawan mereka.
Anoman bersedia menjadi lawan keduanya. Perkelahian antara kedua anak Kumbakarna dan Anoman begitu seru. Kedua anak Kumbakarna merasa percaya diri dapat mengalahkan para satria Pancawati. Ketika Anoman di tengah tengah diantara  Kumba Kumba dan Aswani Kumba dalam posisi berhadap hadapan, Tiba tiba Kumba Kumba dan Aswani Kumba bersemangat dengan kekuatan penuh menyerang bersama, Anoman menghindar dengan meloncat keatas, sehingga kepala mereka berbenturan dengan kerasnya, sehingga kepala mereka pecah, dan tewaslah anak anak Kumbakarna. Wibisana didalam hati menangisi kedua kemenakanya, yang tewas mengenaskan.
Mengapa anak yang baru belasan tahun usianya, maju ke medan perang. Keduanya menjadi pahlawan Alengka yang dibanggakan.
Perabu Dasamuka semakin berduka dengan kematian Kumba Kumba dan Aswani Kumba. Kini saatnya tokoh Alengka yang tersimpan di Gunung Gohkarna, sudah saatnya harus dibangunkan dan berangkat ke medan perang mempertahankan Alengkadiraja, Pasukan Alengkadiraja dibawah komando langsung  Prabu Dasamuka telah berangkat menuju Gunung Gohkarna. Ikut dalam rombongan Tejamantri Togog dan Sarawita. Pasukan juga membawa makanan untuk Kumbakarna.
 
Sesampai di tempat Kumbakarna bertapa, Prabu Dasamuka memerintahkan para perajurit membangunkan Kumbakarna. Pasukan terompet, pasukan tambur dan pasukan meriam sampai dengan petasan bergantian membangunkannya. Namun Kumbakarna tidak merasa terusik sama sekali. Prabu Dasamuka menjadi kehabisan akal. Akhirnya Tejamantri Togog menghadap Prabu Dasamuka, bahwasanya ia bersedia membangunkan Kumbakarna kalau mendapat perintah dari Prabu Dasamuka. Prabu Dasamuka mengijinkan Tejamantri Togog untuk membangunknnya. Tekamantri Togog mendekati kaki Kumbakarna, dan dipeganginya jempol kaki kirinya, kemudian dicabut bulu (wulu cumbu) nya. Begitu tercabut, Kumbakarna langsung bangun, kedua tangan dan kedua kakinya menghentak keras sekali, sehingga tanah menjadi bergetar. Beberapa orang pasukan yang ada didekatnya, sempat terinjak dan terpukul oleh kedua tangan dan kedua kakinya.
Kumbakarna merasa senang Prabu Dasamuka mau mendatanginya dan Prabu Dasamuka telah memberikan maaf kepada Kumbakarna. Makanan dan minuman diberikan kepada Kumbakarna. Makanan dan minuman Kumbakarna beberapa grobag pun habis. Setelah selesai makan dan minum, Prabu Dasamuka baru menjelaskan maksud kedatangannya.
Berkatalah Rahwana:
“O, Kumbakarna, aku membutuhkan tenagamu, dengarkanlah baik-baik kataku. Negerimu hampir hancur berantakan, karena kamu hanya tidur mendengkur tidak menghiraukan. Semua Senapati dan perwira Alengka satu-persatu gugur. Kini negerimu diinjak-injak kera dan munyuk-munyuk wadya Sri Rama dari Maliawan. Sekarang mereka berkemah dan berbaris di gunung Suwelagiri. Kini, apakah baktimu kepada negara dan bangsamu.”
Tetapi Kumbakarna tak sepatah katapun menjawab. Sedang Rahwana hanya mondar-mandir seolah-oleh kehabisan kata, kemudian mengeluh sambil menghempaskan diri, duduk disinggasananya. Setelah sadar berteriaklah kembali meneruskan pidatonya:
“Oh Kumbakarna, kini seluruh harapanku tinggal kepadamu, ketahuilah bahwa kedua anakmu, Kumba Kumba dan Aswani Kumba serta paman Prahasta-pun telah gugur pula. Terjunlah ke medan laga adikku, bunuhlah Rama dan Laksmana. Tumpaslah Hanggada dan Anoman, musnahkanlah sekalian wadyamunyuk dan rewanda dari bumi Alengka. Ohhh, adikku, Kumbakarna yang kucintai, perlihatkanlah kesetiaan baktimu dan cinta kasihmu kepadaku. Aku adalah kakakmu yang tertua yang kini dalam kesedihan, aku yakin dengan kesaktianmu engkau dapat dan sanggup menumpas dalam waktu singkat seluruh wadya dan pengikut Rama.”
Kumbakarna terkejut ketika Prabu Dasamuka, memberi tahu kalau perang Alengka sudah terjadi. Saudara saudaranya. Sarpakenaka, anak anak Prabu Dasamuka serta patih Prahasta semuanya telah gugur. Juga anak anaknya sendiri, Kumba Kumba dan Aswani Kumba telah gugur pula di medan laga. Kumbakarna mendengar itu menjadi  marah luar biasa. Kumbakarna berteriak membahana, memecah kesunyian. Guntur, petir bersahut sahutan, burung burung dilangit saling bertubrukan, dan binatang binatang liar di hutan saling berlarian tidak tentu arah, binatang besar, gajah, banteng, singa dan macan, lari tunggang langgang dan jatuh terguling guling ke dalam jurang. Karena teriakan Kumbakarna menimbulkan gempa. Prabu Dasamuka pun menjadi terkejut pula. Akhirnya Kumbakarna memuntahkan makanan dan minuman  yang terlanjur masuk ke dalam  perutnya.
Setelah emosi Kumbakarna sedikit mereda, kemudian ia berkata:
“Rahwana kakakku, itulah akibat orang yang berkepala batu, yang didengar hanya kemurkaan hatinya sendiri. Kecongkakan dan kepongahanmu engkau sendirilah yang membentuknya. Setiap kali engkau sesumbar, sok kuasa, seolah-olah tidak ada manusia di dunia ini yang melebihi kesaktianmu. Sekarang apakah jadinya? Negara hampir punah dan tumpas gulung tikar Oohhh Rahwana kakakku yang kuhormati dan aku segani, mengapa dahulu engkau tak mau dengar, dikala aku dan adikmu Wibisana yang cerdik bijaksana itu menasehatimu. Bukankah ia telah dengan berani dan penuh kejujuran mempersembahkan saran sarannya, tetapi engkau buta, bahkan memarahinya, menuduhnya seolah-olah mengkhianatimu dan membantu lawan. Wibisana adalah manusia “Sarjana-sujanengbudi” yang dapat membaca akibat jauh dari hasil perbuatan baik dan buruk. Engkau tidak mendengarkan pertimbangannya, bahkan engkau mengutuk dan mengusirnya. Kini ia meninggalkanmu, meninggalkan negeri Alengka, bukan karena mengkhianati negara, tetapi ia memihak kebenaran. Itu adalah sikap “Sujana” yang tahu akan kebenaran.”
“Itulah bukti dan petunjuk bagimu, bahwa ia benar-benar berbicara dengan sepenuh jiwa dan cita-cita luhurnya, demi keselamatanmu sendiri. Kini engkau baru tahu akibat kepergiannya, seolah-olah Alengka kehilangan cahayanya. Para hulubalang bahkan engkau sendiri, berjalan menumbuk-numbuk seperti orang buta kehilangan tongkatnya ! Siapakah yang bersalah, oh kakakku, masih ada waktu. Kembalikan Sinta kepada Rama demi keselamatan negara dan bangsa Alengka. Saranku ini bukanlah karena aku takut berperang, tetapi aku tahu bahwa Ramalah yang berdiri dipihak yang benar. Kalau ini kau kerjakan, berarti engkau telah menyelamatkan negara dan bangsamu.”
Kumbakarna berpakaian putih putih dan berangkat ke medan laga membela tanah air dan membalas dendam kematian anak anaknya. Dan bukan karena membela Prabu Dasamuka yang angkara murka. Pasukan Alengka mengiringkan kepergian Kumbakarna ke medan perang. Prabu Dasamuka pulang ke Istana Alengkapura. Sedangkan Tejamantri Togog dan Sarawita pulang  ke Patogogan. Bendera hitam Alengka kelihatan berderet di perbatasan pertahanan Suwelagiri.
Wibisana melihat kedatangan kakaknya Kumbakarna sebagai Senapati dengan berpakaian seorang brahmana, putih-putih. Wibisana segera menghampiri kakaknya.
“Oh kanda Kumbakarna, kanda sekarang maju medan perang sebagai senopati Alengka dan seperti yang kanda ketahui perang ini terjadi karena ulah kanda Rahwana yang mencuri istri orang. Apakah orang seperti itu pantas untuk dibela?”
“Duh adikku Wibisana, ketahuilah kakangmu Kumbakarna ini bukan datang karena Rahwana, kakangmu ini hanya ingin mempertahankan kemerdekaan Alengkadiraja, negeriku, tanah airku. Kakangmu ini tidak menginginkan perang tetapi juga tidak menginginkan  negeri tercintaku di injak injak oleh musuh, Aku tidak ingin negeriku dijajah oleh negara lain.
Terdiam Wibisana.. Kumbakarna meneruskan biacaranya..
“Aku tidak akan membunuh siapapun. Aku kecewa sudah banyak korban dari Alengka yang tewas. Juga kedua anakku, Kumba Kumba dan Aswani Kumba telah tewas. Aku hanya menginginkan Prabu Rama dan pasukannya kembali ke Pancawati.. Wibisana adikku  menyingkirlah, biarkan kakangmu ini  menemui Prabu Rama, agar mereka segera kembali ke Pancawati.
Kumbakarna memasuki wilayah pertahanan Prabu Rama. Pasukan kera langsung menyerbu Kumbakarna. Lengannya sudah ratusan kera menungganginya, menggigitnya dan mencakarnya, tapi Kumbakarna diam saja. Lengan yang satu juga ditunggangi ratusan kera, juga kepala, juga muka, juga leher, juga punggung, juga perut, juga paha, juga kaki. Mereka menggigit, mencakar dan merobek robek kulit Kumbakarna. Dalam waktu sekejap Kumbakarna menjadi gunung kera.
Tidak ada satu bagian tubuh Kumbakarna yang terlewatkan, semua sudah penuh kera kera.  Walaupun sedemikian hati hatinya Kumbakarna, agar tidak melukai siapapun, tetapi tanpa sengaja Kumbakarna juga menginjak ratusan kera yang menghadangnya.
Kumbakarna akhirnya berhadapan dengan Rama, kemudian ia meminta kepada Prabu Rama, agar Prabu Rama kembali ke Pancawati. Prabu Rama ganti meminta agar Kumbakarna lah yang kembali ke istana Alengkadiraja.
Sementara itu para Senapati Kera, Sugriwa, Anoman, Anggada dan Anila sudah mencegah Kumbakarna jangan mendekati Prabu Rama. Mereka memegangi kedua kaki Kumbakarna agar tidak melangkah lagi, tetapi keempat satria kera itu tidak berdaya, mereka berjatuhan, dan hampir hampir saja terinjak oleh kaki Kumbakarna. Tubuh Kumbakarna memang lebih besar dari raksasa yang lain, Kumbakarna memiliki ukuran tubuh beberapa kali ukuran raksasa biasa.
Untuk membebaskan kesengsaraan Kumbakarna dari serangan para rewanda, Prabu Rama melepaskan panah Guwawijaya kepada Kumbakarna. Panah pertama memutuskan bahu sebelah kiri. Lengan tangan kiri Kumbakarna yang dikerubuti ratusan kerapun jatuh. Banyak kera  yang tewas tergencet lengan kiri Kumbakarna.
Kumbakarna masih melangkah maju, Prabu Rama mengingatkan jangan maju lagi, namun Kumbakarna tetap melangkah. Prabu Rama pun melepaskan anak panah yang kedua. Putuslah bahu kanan Kumbakarna. Lengan kanan Kumbakarna yang dikerubut ratusan kerapun jatuh. Banyak kera yang tewas tergencet lengan kanan Kumbakarna. Kumbakarna terus melangkah.
Prabu Rama melepas anak panah yang ketiga dan keempat kearah kedua kaki Kumbakarna. Kedua kaki Kumbakarna yang dikerubuti ratusan kerapunpun lepas dan jatuh menggencet pula para kera yang mengerubutnya dibawah kakinya. Tubuh Kumbakarna pun ambruk dan menjatuhi ribuan kera kera yang ada dibawahnya. Kini Kumbakarna tinggal tubuh dan kepalanya saja, yang wajahnya  sudah tidak berujud lagi. Kedua daun Telinga, hidung, mulut, kedua mata, Kumbakarna sudah tanggal semua.
Kumbakarna menahan sakit, Kumbakarna yang tinggal kepala dan tubuhnya berguling guling kesakitan, dan tanpa sengaja banyak kera yang  tewas terlindas  oleh tubuh Kumbakarna. Prabu Rama merasa ngeri dengan keadaan Kumbakarna.
Wibisana segera meminta pada Prabu Rama untuk menyempurnakan kematiannya. Prabu Rama yang kelima kalinya melepaskan anak panahnya keleher Kumbakarna. Kepala dan gembung Kumbakarna terpisah. Kumbakarna pun gugur. Kumbakarna gugur membela tanah airnya, bukan membela keangkara murkaan Prabu Dasamuka.
Kumbakarna disambut  harum bunga melati yang turun dari langit. Tubuh  Kumbakarna yang semula terpotong potong, dan tercecer dimana mana, tiba tiba menyatu menjadi Kumbakarna yang utuh kembali. Kumbakarna bangkit kembali dan hilang dari pandangan mata. Rupanya Kumbakarna, moksha. Jiwa dan raga Kumbakarna diterima oleh dewa, dan ditempatkan di Swarga Pangrantunan.

Prabu Rama dan segenap punggawa terkesima dengan peristiwa itu. Terlebih lebih Wibisana, menangisi kepegian Kakaknya yang paling dicintainya.
sumber: media seni budaya wayang Indonesia


Melestarikan Seni Budaya Wayang Indonesia
Musik Jawa Favorit

Sabtu, 17 Januari 2015

Prabu Salya Gugur

Raja Mandaraka Mertua Prabu Duryudana

Sebelum terjadi perang Bharatayudha tepatnya ketika Kresna Duta, Prabu Salya melambai pada Sri Kresna, kemudian mereka bercakap cakap di beranda kerajaan Hastina. saat itu memang di Hastina Prabu Duryudana mengundang sesepuh sesepuh, termasuk Bhisma Begawan dari Talkondo, Prabu Salya mertuanya sendiri dari kerajaan Mandaraka, Begawan Drona Guru dari Padepokan Sokalima, dan Karna kakak angkatnya dari kerjaan Tanah Perdikan Awangga.
Saat itu Prabu Salya berkata pada Raja Dwarawati Sri Kresna, “wahai Titisan Wisnu, aku ingin menitipkan suatu hal kepadamu jika Bharatayudha benar benar akan terjadi. ya aku akan menitipkan Nakula dan Sadewa kepadamu, karena sesungguhnya setiap melihat mereka aku selalu teringat akan adikku Madrim yang wafat ketika melahirkan mereka. untung saja Kunti Talibrata mau untuk merawat mereka berdua seperti merawat anaknya sendiri. tolonglah jaga sikembar Nakula dan Sadewa untukku” dan Kresna kemudian menyanggupi permintaan Prabu Salya….
Dan kisah berlanjut, saat itu perang Bharatayudha berkecamuk, dan Salya dijebak untuk berpihak kepada Kurawa, Salya yang merasa dijebak kemudian membalas ketika menjadi kusir kereta Adipati Karna, saat Adipati Karna melepas panahnya Prabu Salya menghentakan kakinya ke kereta yang dikusirinya, dan roda kereta amblas masuk ke dalam tanah. dan panah sakti Karna meleset hanya mengenai mahkota Arjuna. lalu disuruhnya Adipati Karna untuk memperbaiki roda kereta, saat Karna turun memperbaiki roda kereta Pasopati melesat dan memenggal Adipati Karna.
Alkisah sesudah gugurnya Adipati Karna, Prabu Salya pulang ke Mandaraka, dia tahu bahwa selepas gugurnya Karna maka dia yang akan diangkat menjadi senopati kurawa. saat itu Kresna tanggap bahwa Salya bukan musuh yang enteng. saat itu Kresna teringat akan pembicaraanya dengan Prabu Salya ketika ia menjadi Duta terahir Pandawa ke Hastina. 
Maka dipanggilah Nakula dan Sadewa, dan disuruh memakai baju putih dari kain kafan dan dengan kereta mereka disuruh memacu kudanya ke Kerajaan Mandaraka bertemu dengan Prabu Salya. pesan Kresna sederhana, jika kalian sampai di depan Prabu Salya segeralah minta mati. Nakula dan Sadewa tahu bahwa dia dikorbankan oleh Kresna dan mereka pun menangis dalam kegalauan hatinya dalam perjalanan. bagaimanapun mereka sangat sayang kepada pamanya salya. Sampai di Kerajaan Mandaraka Nakula dan Sadewa yang berpakaian kafan itu segera bersujud di kaki pamannya, mereka menangis dan minta mati. Salya terkaget kaget, dan dia berkata “siapa yang menyuruh kalian kemari keponakanku tersayang?”, Nakula dan Sadewa berusaha menyembunyikan kenyataan dan berkata “tidak ada paman, kami tidak disuruh siapa siapa”. Salya tersenyum dan berkata “kalian tidak bisa membohongiku, aku ini paman kalian lebih banyak makan asam garam kehidupan daripada kalian, aku tahu kalian disuruh oleh kresna, ya kan?” Nakula dan Sadewa membisu. Salya berkata kembali “apa yang kalian inginkan keponakan tersayang? apa yang kalian inginkan dari pamanmu ini nak?”. Nakula dan Sadewa walau galau pun menjawab seperti yang diajarkan oleh Kresna kepada mereka “paman, daripada kami mati di bharatayudha menghadapi paman, lebih baik sekarang kami minta mati sekarang paman” Salya tersenyum dan matanya berkaca kaca….” anakku nakula dan sadewa, setiap aku melihat kalian, aku selalu teringat akan madrim adiku yang telah wafat ketika melahirkan kalian, maka manalah tega aku membunuh kalian anaku?, katakanlah anakku, katakanlah, aku ingin salya mati dalam bharatayudha, katakanlah anakku, katakanlah….
Nakula dan Sadewa tak dapat lagi menahan air matanya, bagi mereka yang tertinggal cuma Salya dalam keluarga mereka, ibu mereka Madrim wafat ketika melahirkan mereka, sementara Pandu ayah mereka meninggal beberapa saat kemudian karena kehabisan darah tertusuk keris Prabu Kala Tremboko dari Pringgandani, haruskah mereka kini merelakan kematian paman mereka yang sangat sayang dan kasih kepada mereka? mereka terdiam dalam tangis penuh keharuan.
Prabu Salya memecah keheningan “anakku, segera kembali ke kresna, katakan, besok jika aku maju menjadi senopati kurawa dalam perang bharata yudha, suruh kakakmu yudistira menghadapi aku, sekarang segeralah pulang”. lalu Nakula dan Sadewa memeluk kaki Salya dan untuk terahir kalinya salya memberi berkatnya kepada keponakanya yang sangat dicintai itu.
Malam itu, mengetahui takdir akan datang, yaitu kematiannya. Salya bercengkerama dengan mesra bersama istrinya Ratu Pujawati. bahkan seolah olah mereka sedang dalam keadaan bulan madu, seperti pasangan pengantin di malam pertama. Pujawati sudah gelisah, dia menangkap kesan aneh dari suaminya. tapi Salya tetap saja berusaha meyakinkan istrinya bahwa tidak akan terjadi apa apa. mereka bercinta malam itu sampai pagi.
Ketika pagi menjelang, Dewi Pujawati masih lelap dalam tidurnya, Salya melihat wajah istrinya yang sudah berumur tapi tetap cantik dan setia mendampinginya hingga kini, sambil menyelimuti tubuh istrinya Salya berkata “mungkin ini terahir kalinya aku melihat kecantikan wajahmu. adikku, maafkan aku, aku tak mungkin memberitahukan kepadamu kematiaku”. dan seperti 3 senopati kurawa sebelumnya ketika menghadapi ajalnya, Prabu Salya menggunakan baju perang berwarna putih putih.
Seketika dilarikan keretanya ke kurusetra, dan perang pun berlanjut. Candrabirawa makan korban banyak, pandawa kewalahan. saat itulah yudistira disuruh maju oleh kresna. awalnya Yudistira tak mau maju perang dan bertekad tak akan pernah menyakiti siapapun juga. mendengar itu Kresna pun meminta Arjuna, Nakula, Sadewa dan Bima untuk bunuh diri saja. jika Yudistira tak mau maju, lebih baik semua pandawa bunuh diri, karena Prabu Salya tak mungkin terkalahkan kecuali jika Yudistira maju. akhirnya dengan berat hati Yudistira maju berperang.
Dalam versi wayang dikatakan bahwa salya tewas dilempar oleh jimat “Kalimasada”. saat itu Resi Bagaspati masuk ke dalam tubuh Yudistira, dan Candrabirawa diambil kembali dari tubuh Salya. kemudian Yudistira melempar jimat “Kalimasada” dan tepat mengenai dada Prabu Salya, seketika Prabu Salya gugur terkena lemparan jimat “Kalimasada”.
Di mandaraka, Dewi Pujawati terbangun dan menangis mengetahui suaminya sudah berangkat berperang, dan dia pun menyusul ke kurusetra. disana dia sampai ketika hari sudah sore, dan setelah mencari cari dari ribuan mayat yang tergeletak, ditemukanlah mayat suaminya. saat itu juga pujawati menikamkan keris ke dadanya. dia ikut bela pati atas gugurnya suaminya. istri yang setia, sebelum mati dia berkata kepada mayat suaminya “kakang, saya tak mampu hidup tanpa kakang, senang kita bersama, susah kita bersama, maka aku akan menyusul kakang ke sorga...dan keris itu merobek dada Pujawati, menembus jantungnya, membuat koncat nyawanya, dan bersama sukma Resi Bagaspati, dan Prabu Salya sukma Pujawati menuju swargaloka.
sumber: media seni budaya wayang Indonesia 
Seni Budaya Warisan Leluhur

Musik Jawa Favorit

Sosok Ibu Kunthi

Kunthi Talibrata
Seorang ibu mempersiapkan jiwa dan raganya agar indung telurnya dibuahi. Selanjutnya indung telur yang berubah menjadi sel induk dipelihara dalam rahim yang kokoh nan lembut untuk difasilitasi bagi perkembangan janin dan dibawa kemanapun juga selama sembilan bulan sepuluh hari. Setelah sang bayi lahir, diberinya sang anak makanan dari air susunya, diajarinya bicara dengan penuh kesabaran, bahkan terus menerus dido'akannya sampai akhir hayat dirinya. Demikianlah kasih seorang ibu.
Nama Dewi Kunti kecil bernama Pritha, bersaudara dengan Basudewa dan Ugrasena, akan tetapi kemudian dijadikan anak angkat oleh Prabu Kuntibhoja yang bijaksana. Dewi Kunti seorang putri berbudi pekerti luhur, berbakti kepada kedua orang tuanya, serta penuh kasih terhadap sesama. Pada suatu ketika, ada seorang pendeta bernama Resi Durwasa mengunjungi Prabu Kuntibhoja. Resi itu baru saja mengakhiri tapa bratanya dan datang ke istana untuk minta makan. Dewi Kunti menyediakan berbagai jenis makanan yang lezat bagi tamunya tersebut. Sang Resi Durwasa tersentuh oleh ketulusan sang puteri raja dan diberilah dia Mantra Aji Gineng, Aditya Hrdaya. Mantra tersebut dapat dipergunakan untuk mendatangkan Dewa, mendatangkan kekuatan Ilahi, semacam penemuan cara membuat bayi tabung saat ini. Anugerah mantra yang diberikan kepada Dewi Kunti tersebut nantinya akan menyelamatkan kelangsungan Dinasti Bharata.
Sebagai seorang remaja, keingintahuan Dewi Kunti teramat besar. Dewi Kunti ingin tahu keampuhan mantra yang dihadiahkan kepadanya. Dewi Kunti memperhatikan Sang Surya, dan dia paham bahwa semua makhluk di bumi hanya hidup berkat adanya Sang Surya. Tanpa adanya Sang Surya, semua makhluk di bumi ini akan punah. Dewi Kunti merapal mantra pemberian Resi Durwasa dan mengakses kekuatan matahari, dan dia kaget dengan hasilnya, ternyata rahimnya diberkahi seorang putra dari Sang Surya. Sebagai seorang ibu dadakan, Dewi Kunti berada dalam dilema, memilih menjaga nama baik kerajaan dan orang tuanya atau memelihara Sang Putra.
Atas petunjuk Hyang Widhi, bayi tersebut bisa dilahirkan semacam bedah sesar masa kini tanpa bekas, dan dikisahkan oleh para leluhur lahir melalui telinga. Dewi Kunti meletakkan bayinya di dalam keranjang, dilarung, dibiarkan mengikuti arus Sungai Gangga. Petunjuk selanjutnya didengarnya lewat hati nurani, ”Kau harus mempersiapkan mental dan syaraf-syarafmu, kau akan mengalami penderitaan yang luar biasa akibat tindakanmu. Akan tetapi kau tidak akan sendiri, kau akan ditemani putra-putramu dalam menyelesaikan hutang piutang karma. Sebuah grup karma dalam keluarga. Pakailah pikiran jernih! Bersama putra-putramu nanti kau akan dipandu salah seorang keponakanmu, yang menjadi titisan Batara Wisnu, sejatinya dia juga yang menjadi pikiran jernih dalam jiwamu……"
sumber: media seni budaya wayang Indonesia 
Melestarikan Seni Budaya Wayang Indonesia
Musik Jawa Favorit

Prabu Kresna

Sri Kresna, Raja Dwarawati

Kresna adalah salah seorang pemimpin yang memiliki karakter unik dan karisma tersendiri di era Mahabarata. Lahir di negri Mandura, dibesarkan dan digembleng di desa terpencil Widarakandang, yang masih menjadi bagian dari negri Mandura. Dan kemudian menjadi raja besar di negri Dwarawati. Kresna adalah seorang raja sekaligus politisi dan diplomat ulung di jamannya. Kresna adalah putra kedua Prabu Basudewa, raja dari Mandura. Basudewa yang memiliki tiga orang putra, yaitu Baladewa, yang memiliki nama muda Kakrasana, Narayana yang ketika bergelar raja bernama Kresna, dan Rara Ireng, yang kemudian dikenal dengan nama Dewi Wara Sumbadra.  
Ketiga bersaudara putra Basudewa ini, sejak kecil dititipkan di padepokan Widarakandang, diasuh oleh Ki Demang Antagopa, dan istrinya Nyi Ken Sagupi. Ini terjadi ketika sebelum mereka bertiga lahir, menurut desas-desusnya, permaisuri Mandura, Dewi Maerah telah melahirkan seorang putra yang berwujud raksasa, dan beranjak remaja, bernama Kangsadewa yang sesumbar akan membunuh adik-adiknya bila mereka besar demi mendapat tahta Mandura. Sehingga demi keselamatan Kakrasana, Narayana, dan Rara Ireng, mereka disembunyikan di desa terpencil itu. 

Ketika mereka beranjak dewasa, baik Kakrasana maupun Narayana, sama-sama mengembara secara terpisah demi mengejar ilmu kanuragan dan kautaman. Terutama yang kemudian banyak belajar dari para resi dan begawan, dan anehnya, Narayana juga banyak mendapat pembelajaran dari mimpi-mimpi di kala tidurnya.
Ketika mereka kembali ke Widarakandang, Kakrasana, dan Narayana, mendapat cobaan yang nyata ketika Kangsadewa terang-terangan menantang mereka dan menuntut hak atas tahta negri Mandura. Kangsadewa dibantu pamannya yang terkenal sakti bernama Suratimantra. Sebuah rahasia terkuak ketika sebenarnya 

Kangsadewa sejatinya bukan anak Basudewa. Dia memang lahir dari rahim Dewi Maerah, yang terpedaya oleh seorang sakti Bangsa Raksasa bernama Gorawangsa. Yang memiliki ilmu ajian panglimunan, menipu penglihatan siapa pun yang berjumpa dengannya. Ketertarikannya kepada Dewi Maerah, membuatnya menyaru sebagai Basudewa dan kala itu hidup beberapa lama di istana Mandura, ketika Basudewa yang asli pergi dari istana. Suratimantra adalah adik dari Gorawangsa.
Keributan pun terjadi. Gorawangsa bertempur seru dengan Basudewa, sementara Kangsadewa dan Suratimantra memburu Kakrasana dan Narayana. Beruntung salah seorang adik Basudewa, bernama Ugrasena segera memacu kudanya ke negri Hastinapura, meminta bantuan kakak iparnya, Pandu Dewanata. Dengan bantuan Pandu yang datang bersama anak keduanya yang masih remaja, tapi badannya tinggi besar dua kali rata-rata Bangsa Manusia biasa, bernama Bratasena, maka Gorawangsa dan Suratimantra pun mati. Kangsadewa yang lengah dan gentar setelah kematian orang tua dan pamannya, pun menjadi lengah dan mati di tangan Kakrasana. 
Sejak itulah Kakrasana, Narayana dan Rara Ireng diboyong ke kerajaan Mandura. Tak berapa lama kemudian tahta Mandura pun deserahkan kepada anak sulung Basudewa, Kakrasana. Yang setelah dilantik duduk disinggasana bergelar Prabu Baladewa. Sementara Narayana diangkat menjadi senapati agung negri itu. 
Namun rupanya, kakak-adik ini tidak memiliki visi yang sama dalam memimpin negri Mandura. Sang raja Baladewa yang memang memiliki temperamen tinggi dan mudah marah, terkadang mengambil keputusan-keputusan yang menyangkut kelangsungan kehidupan negri dan menentukan nasib rakyat Mandura, dalam keadaan emosi dan dengan kondisi marah. Sehingga keputusan-keputusan itu pun terkadang ditentang oleh adiknya sendiri, Narayana, yang berulangkali mengingatkannya agar Baladewa diminta belajar terlebih dahulu mengendalikan dan memimpin dirinya sendiri dari amarah berlebihan yang tidak seharusnya dimiliki oleh seorang raja besar. Di bilik tersembunyi istana pun terkadang, mereka berdua, Baladewa dan Narayana, seringkali adu mulut dan bersitegang tentang banyak hal. 
Narayana, yang dalam pemikirannya berusaha selalu mengedepankan kepentingan negri Mandura, perlawanannya kepada sang raja Baladewa, disikapi secara berbeda olehnya. Baladewa dalam kondisi emosi menganggap Narayana iri atas tahtanya di Mandura, dan berusaha merongrong kewibawaannya, demi ingin duduk disanggasana menggantikannya sebagai raja Mandura. 
Sejak itulah Narayana merasa disingkirkan dan memilih untuk pergi dari istana. Rara Ireng justru memutuskan ikut Narayana, yang dianggapnya lebih memiliki kesepahaman dengannnya. Narayana pun hidup di pinggiran sisi barat Mandura, berbatasan dengan hutan Wanamarta sisi selatan. Hidup diantara rerimbunan hutan dan menjadi perompak bagi para bangsawan dan kayaraya yang lewat di daerah persembunyiannya, untuk kemudian harta yang diperolehnya dibagi-bagikan kepada rakyat miskin dan terpencil, jauh dari jangkauan kebijakan istana Mandura. 
Memang pertentangan Baladewa dengan adiknya, Narayana, yang paling kentara adalah pada hal kebijakan Baladewa yang lebih berpihak kepada para bangsawan dan kayaraya pemilik modal. Dan semakin menindas rakyat miskin. Sehingga keputusan Narayana menjadi perompak adalah sebagai wujud protesnya atas kebijakan-kebijakan yang diambil kakaknya. 
Cukup lama Narayana menjalani hidup demikian, sampai kemudian suatu ketika aksinya digagalkan oleh seorang senapati agung bangsa Hastinapura, dan dia diberi wejangan agar mengakhiri jalan hidup yang seperti itu, dan mulai membangun sebuah upaya nyata untuk memperjuangkan idealismenya. Seorang senapati yang menyadarkannya adalah salah satu sesepuh bangsa Hastinapura yang begitu dihormati di seluruh dunia wayang, dan dikenal dengan sikap pengabdian sepanjang hidupnya, dia yang dikenal dengan nama Resi Bisma, seorang ksatria senapati yang memilih jalan hidup bagai seorang begawan. 
Sejak itu Narayana pergi semakin ke barat, memasuki negri bernama Dwarawati. Sebuah negri yang banyak dihuni Bangsa Manusia tapi dipimpin oleh seseorang berdarah Bangsa Raksasa, bernama Prabu Narasingha. Seorang raja yang dalam kebijaksanaanya justru meminggirkan Bangsa Manusia yang mayoritas, tapi secara fisik lebih kecil dan lebih lemah dibanding Bangsa Raksasa yang minoritas. Narayana pun berbaur dengan rakyat negri Dwarawati. 
Di negri inilah kemudian Narayana belajar untuk berorganisasi, memimpin sebuah pergerakan demi kesamaan hak antara Bangsa Manusia dengan Bangsa Raksasa di negri Dwarawati. Di negri inilah Narayana mengawali pembelajaran dirinya sebagai seorang diplomat, dan menebar pengaruh dengan cara dialog tanpa kekerasan. Walaupun dia memiliki kesaktian ilmu kanuragan yang tinggi, tapi di Dwarawati, dia lebih banyak melebarkan sayap dan semakin banyak orang yang hormat dan segan kepadanya dengan cara-cara tanpa sama sekali menggunakan kesaktiannya. 
Sampai kemudian Prabu Narasingha memburunya, dan menjadikan Narayana sebagai pemberontak di negri Dwarawati. Namun rupanya Narasingha terlalu percaya diri, bahwa rakyatnya masih takut kepadanya. Dia terkejut ketika melihat sebagian besar penduduknya sudah berani secara terbuka menentangnya atas rasa percaya diri yang berhasil ditanamkan Narayana. Tanpa kesulitan yang berarti, justru Narayana yang berhasil memasuki istana Dwarawati dalam upaya meminta Narasingha meletakkan tahta secara baik-baik.
Narasingha yang keras kepala itu pun harus mati terbunuh oleh Narayana, ketika dia memaksakan diri untuk menyerang Narayana, pada saat dia mulai mengetahui bahwa sebagian besar prajurtinya pun sudah mulai menyeberang dan berdiri di belakang Narayana. Rakyar Dwarawati pun satu suara, dan meminta Narayana menjadi raja di Dwarawati setelah istana kosong ditinggal Narasingha. 
Sejak itulah Narayana bertahta di negri Dwarawati, dan bergelar Prabu Sri Kresna. Ketika itu pun Kresna menunjukkan sikap kenegarawanannya, saat dia juga merangkul orang-orang yang dulu ada di sekitar Narasingha. Termasuk mengangkat Narayudajaya, salah satu keponakan Narasingha, sebagai salah seorang senapati negri Dwarawati. 

Ketika mendengar Pandawa dibuang di hutan Wanamarta yang terletak di utara negri Dwarawati, Kresna pun segera bergegas ke sana, teringat hutang budinya ketika dia dibantu Pandu, ayah Pandawa dalam melenyapkan ancaman Mandura. Atas bantuan Kresna, Pandawa pun berhasil membangun negri dengan membuka hutan Wanamarta, dan menjadikan wilayah itu negri bernama Amarta. 
Perlahan tapi pasti, Dwarawati dan Amarta pun menjadi besar dan semakin menjadi negri yang dihormati di seluruh wilayah Dunia Wayang. Dwarawati yang dipimpin Sri Kresna dan Amarta yang dipimpin oleh Yudhistira pun merintis sebuah cita-cita demi sebuah perdamaian di seluruh Dunia Wayang. Perdamaian yang dilandasi saling menghargai dan menghormati antar wilayah negri yang berdaulat dan bermartabat. Kehendak ini pun mereka sampaikan ketika mereka mengundang seluruh tokoh raja, begawan, ksatria di seluruh Dunia Wayang, dalam sebuah perhelatan di negri Amarta yang bernama Sesaji Rajasuya. 
Justru banyak pemimpin negri yang merasa iri ketika hadir dalam perhelatan Rajasuya dan menyaksikan sendiri mewahnya istana Amarta. Sebagian justru salah sangka dengan menganggap acara Rajasuya sebagai upaya Yudhistira untuk pamer atas istana barunya. Sehingga ketegangan-ketegangan pun terjadi. Yang justru semakin mengeruhkan suasana, ditambah ulah licik pihak Kurawa yang berhasil semakin membuat dua kubu kekuatan di dunia wayang, demi agenda sang raja Duryudana yang iri atas keberhasilan Yudhistira, justru di saat pengasingannya.

Kresna, yang kemudian tanggap atas peta pengkutuban kekuatan itu pun, langsung berupaya membantu Yudhistira yang tetap ingin mengupayakan penyelesaian hak atas negri Hastinapura secara damai. Sampai kemudian Kresna sendiri yang datang menjadi duta bagi pihak Pandawa, walaupun nyata-nyata Pandawa kembali sebelumnya ditipu daya dan dibuang selama tigabelas tahun di negri Wirata. 
Rupanya upaya Kresna untuk membangun dialog itu tidak berhasil. Justru Duryudana, pimpinan Kurawa secara terbuka menantang Pandawa. Sebuah tantangan yang mau tak mau disikapi dengan persiapan pertempuran yang disepakati dilakukan di padang Kurusetra. Kresna sendiri yang kemudian mendampingi Pandawa menjadi penasihat perang. Kresna, seorang raja, pimpinan negri sekaligus juru bicara dan diplomat ulung yang juga pandai dalam strategi perang. Perang Pandawa - Kurawa yang berkobar yang dikenal dengan nama Baratayuda. 
Adalah Kresna yang mengusulkan strategi demi strategi formasi perang bagi Pandawa. Dia yang begitu pandai membuat tarik ulur, kapan harus menggempur secara luar biasa, kapan harus mundur sejenak, kapan harus menyerang dengan kekuatan apa adanya demi strategi memberi angin musuh dalam rangka melenakan mereka. Kresna yang juga mengusulkan kepada Yudhistira, siapa dan kapan sang panglima perang di medan laga. 
Sebelum Baratayuda dimulai, Kresna yang mencoba berstrategi memancing Karna agar berkehendak meminta Salya, sang mertua sebagai saisnya saat pertempuran. Karena Kresna tahu bahwa hubungan mertua menantu antara Karna dan Salya tidak begitu bagus. Dan itu bisa menjadi sebuah keberuntungan di pihak Pandawa. 
Ketika Baratayuda baru mulai, Kresnalah yang mengembalikan semangat Arjuna untuk maju perang, ketika si Arjuna dilanda keraguan harus berhadapan dengan saudara-saudaranya sendiri. Nasihat yang begitu indah yang kemudian tertuang dalam kitab Bhagawadgita. Kresna yang dengan jelinya mengusulkan untuk memasang seorang panglima perang perempuan ketika pihak Kurawa memasang Bisma sebagai panglimanya. Kresnalah yang meminta Gatotkaca sebagai panglima ketika Karna maju menjadi pimpinan perang Kurawa, demi menyelamatkan Arjuna dari senjata pamungkas Karna. Gatotkaca yang kemudian mati oleh senjata mematikan Konta milik Karna yang hanya meminta satu korban, dan siapa pun itu pasti mati. 
Kresnalah yang kemudian berstrategi mempertemukan Salya dengan Yudhistira. Karena hanya dengan Yudhistira-lah Salya bisa dikalahkan. Sampai Baratayuda selesai dengan kemenangan dipihak Pandawa, tak lepas dari kepandaian dan kejelian Kresna dalam melihat pertanda dan strategi yang tepat untuk diterapkan dalam peperangan. 
Tapi sosok penggambaran Kresna, tetap seperti cermin bagi kehidupan kita. Kresna yang piawai dalam diplomasi dan strategi, juga memiliki kekurangan-kekurangan. Salah satu hal yang paling kelihatan adalah kekurangan Kresna yang dinilai gagal dalam membina keluarganya sendiri demi kejayaan negri Dwarawati.
Kresna memiliki tiga orang istri dan dua orang anak angkat. Dikisahkan Kresna yang memang memiliki kemahiran dalam membangun perdamaian di negri Wayang, sehingga dia dipilih oleh Dewa Wisnu, yang memutuskan menempuh jalan kematiam dan menyatu dengan hati dan pikiran Kresna. Hal inilah yang kemudian cerita itu menggiring kepada keputusan Kresna yang mengangkat anak kepada Sitija dan Siti Sendari, dua anak kandung Dewa Wisnu, dari istrinya Dewi Pertiwi. 
Sitija yang memiliki watak keras dan memiliki hati seperti batu. Sementara Siti Sendari yang manja dan selalu dihinggapi rasa cemburu, apalagi ketika sejak menikah dengan Abimanyu, mereka tahu tak juga kunjung dikaruniai keturunan. 

Istri Kresna yang pertama adalah Dewi Jembawati. Seorang putri cantik dari bangsa Kera. Perkawinan mereka melahirkan Samba, seorang ksatria yang sombong dan tak pernah tersentuh kesopanan. Samba yang dalam berbicara seringkali menyinggung perasaan orang lain. Samba yang ketika dewasa juga tak bisa mengendalikan diri dan merayu kakak iparnya sendiri, Dewi Adnyanawati, istri Sitija. Samba yang kemudian mati oleh kemarahan Sitija. Sebuah kejadian tragedi kematian Sitija yang membuat Kresna lepas kendali dan membunuh Sitija, anak angkatnya sendiri. Sementara adik Samba bernama Gunadewa. Seorang tampan yang memiliki postur tubuh dan cara berjalan seperti bangsa Kera. Gunadewa yang kemudian tidak kuat jauh dari kasih sayang orangtuanya, karena Kresna lebih banyak sibuk menjalin hubungan persahabatan dengan negri lain, dan hampir tak pernah memiliki waktu cukup bersama keluarganya di istana Dwarawati. Sehingga Gunadewa memilih untuk pergi tinggal bersama kakeknya, Kapi Jembawan. Jauh dari keramaian. 
Istri kedua Kresna adalah Dewi Rukmini. Putri negri Kumbina, anak dari Prabu Bismaka. Dari perkawinan ini mereka dikaruniai anak Saranadewa dan Partadewa. Saranadewa yang berwajah Raksasa, yang konon ketika berkasihan dengan Rukmini, Kresna dalam keadaan marah tiwikrama menjadi sosok Raksasa. Rasa kecewa Saranadewa membuat dia mengasingkan diri dan hampir tak pernah muncul di istana Dwarawati. Sementara sang adik Partadewa, yang juga tak pernah bertegur sapa dengan Kresna, memilih untuk membangun padepokan, dan memperdalam ilmu kautaman di desa Dadapaksi. 
Sementara istri ketiga Kresna bernama Dewi Setyaboma, putri Prabu Setyajid, raja negri Lesanpura. Setyaboma memiliki adik bernama Satyaki yang menjadi panglima perang di Dwarawati. Kresna dan Setyaboma, memiliki putra bernama Setyaka, yang hidup bersama kakeknya di Lesanpura, dan diberi wilayah kasatrian di Tambakwungkal, bagian selatan dari Lesanpura. Setyaka juga merasa asing dengan ayahnya sendiri. 
Kresna yang dikenal ulung dalam menjalin dialog, tak sempat untuk mencegah perang saudara kerajaan Mandura, negri tempatnya dilahirkan. Sehingga negri kerabat kerajaan Mandura musnah tak ada yang tersisa setelah Baladewa dipaksa turun dari tahta dan pergi entah kemana. Dan kisah itu juga membawa Kresna pada kegagalannya untuk mempersiapkan penerus keturunannya sebagai raja di Dwarawati. Dwarawati setelah Kresna tetap berjaya pada masa jaman Parikesit. Tapi diperintah bukan oleh keturunan langsung dari Kresna. Kerajaan Dwarawati setelah kepemimpinan Kresna dipimpin oleh Arya Sangasanga, anak kandung Satyaki

sumber: media seni budaya wayang Indonesia


Melestarikan Seni Budaya Warisan Leluhur

Musik Jawa Favorit